Saat Dihadapkan Pada Trauma
Saya yakin, hampir semua orang pernah memiliki pengalaman traumatis dalam hidupnya. Bagi saya, trauma itu adalah saat saya harus kehilangan putri kecil saya yang berusia tiga bulan.
Melalui semua itu tidak mudah, tentu saja. Terkadang ingin menghindar dari hal-hal yang mengingatkan kembali pada kejadian tersebut, namun ada kalanya kita berada dalam situasi yang tidak bisa kita hindari lagi.
Sejujurnya, sejak saya kehilangan anak saya, saya tidak pernah ingin bertemu dokter siapapun lagi, dan tidak mau menginjakkan kaki ke rumah sakit manapun lagi.
Sampai ketika hari sabtu kemarin, kami ingin menjenguk nenek sebelah rumah yang dilarikan ke rumah sakit. Sejak awal saya sudah berpikir bahwa ini akan menjadi kali pertama bagi saya mendatangi sebuah rumah sakit lagi, setelah tragedi delapan bulan lalu.
Rumah sakit itu sebenarnya cukup dekat, masih di daerah Cimanggis. Tetapi arus lalu lintas menuju dan dari sana biasanya sangat padat. Begitu memasuki halaman rumah sakit, tiba-tiba saya teringat saat-saat kami membawa Adiba ke rumah sakit. Membaca tulisan UGD, kenangan yang hadir semakin kuat. Dan ketika suami saya berhasil memarkirkan mobil di halamannya yang mungil, air mata saya sudah tidak terbendung lagi. Semua kenangan itu menghantam saya tanpa ampun.
Melihat saya yang seperti itu, akhirnya suami saya mengambil alih tugas untuk menjenguk ke dalam rumah sakit. Dia sendirian dengan berbekal nomor ruangan tempat tetangga kami dirawat. Sementara saya di mobil masih larut dalam kenangan tentang tragedi itu. Saya berterima kasih dalam hati, atas pngertian suami saya yang luar biasa.
Agak lama, suami saya kembali ke mobil. Tetapi ia masih membawa bungkusn plastik berisi oleh-oleh yang seharusnya diserahkan pada tetangga kami.
"Nggak ketemu Si Mbah, Bi?" Tanya saya.
"Ruangannya sih ketemu, tapi Abi nggak tahu itu Mbah atau bukan. Banyak orang-orang yang ngumpul, tapi nggak ada satupun yang Abi kenal."
Jadi? Rasanya lucu jika kami harus pulang tanpa hasil, dengan oleh-oleh yang masih utuh. Tidak sebanding dengan waktu yang dihabiskan karena lalu lintas yang macet. Maka saya memutuskan untuk masuk saja ke rumah sakit itu. Suami saya menemani. Anak-anak kami tinggal di mobil.
Untunglah rumah sakit itu bukan rumah sakit yang sama dengan tempat meninggalnya Adiba. Saya juga sudah cukup tenang saat memasuki tempat itu.
Semula saya takut menghadapi hal itu. Saya khawatir dengan apa yang akan terjadi ketika semua kenangan akan tragedi itu datang. Tapi ya sudah, memang semua itu harus dihadapi. Masih terasa sedih dan sangat menyakitkan, walaupun kejadiannya sudah lama berlalu. Maka saya menyimpulkan, sampai kapanpun rasa itu tidak akan hilang. Sedih, sakit, kehilangan. Semua itu sudah menjadi bagian dari hidup saya dan saya tidak bisa menolaknya.
Sama ketika saya mencoba menuliskan tragedi tersebut dalam sebuah novel. Saat mulai menuliskan konflik, maka proses penulisan itu mulai terasa berat. Berat karena saya harus membuka kembali kenangan yang sebagian sudah tertutup. Setiap mengingatnya, menuangkannya dalam tulisan, rasa sakit itu kembali datang. Saya sempat ragu, bagaimana caranya menyelesaikan tulisan ini jika setiap ingin menuliskannya saya terserang panik dan keinginan untuk terus menghindar.
Tetapi Mbak Mentor saya terus mengingatkan tentang goal yang ingin saya capai. Ya, saya masih ingin menulis cerita ini. Saya ingin menyelesaikan novel ini. Saya ingin orang membaca kisah ini.
Maka saya pun kembali menulis. Lalu menangis. Menulis lagi. Menangis lagi. Sampai sekarang. Tetapi saya tidak boleh berhenti. Naskah saya memang belum rampung. Saya ingin segera menyelesaikannya. Bulan Desember ini adalah bulan kelahiran Adiba. Semoga bulan ini saya bisa menyelesaikan naskah novel saya. Aamiin. Doakan saya ya, teman-teman 😊🙇
Rasa sakit itu kadang tak bisa dihindari. Tak masalah jika kita harus menangis. Nikmati saja. Resapi setiap hadirnya, maka kita akan melihat bahwa kita telah cukup jauh berjalan. Namun jika kita menghindar, kita tak akan bisa sampai ke mana-mana.
*picture taken from pixabay.com
Melalui semua itu tidak mudah, tentu saja. Terkadang ingin menghindar dari hal-hal yang mengingatkan kembali pada kejadian tersebut, namun ada kalanya kita berada dalam situasi yang tidak bisa kita hindari lagi.
Sejujurnya, sejak saya kehilangan anak saya, saya tidak pernah ingin bertemu dokter siapapun lagi, dan tidak mau menginjakkan kaki ke rumah sakit manapun lagi.
Sampai ketika hari sabtu kemarin, kami ingin menjenguk nenek sebelah rumah yang dilarikan ke rumah sakit. Sejak awal saya sudah berpikir bahwa ini akan menjadi kali pertama bagi saya mendatangi sebuah rumah sakit lagi, setelah tragedi delapan bulan lalu.
Rumah sakit itu sebenarnya cukup dekat, masih di daerah Cimanggis. Tetapi arus lalu lintas menuju dan dari sana biasanya sangat padat. Begitu memasuki halaman rumah sakit, tiba-tiba saya teringat saat-saat kami membawa Adiba ke rumah sakit. Membaca tulisan UGD, kenangan yang hadir semakin kuat. Dan ketika suami saya berhasil memarkirkan mobil di halamannya yang mungil, air mata saya sudah tidak terbendung lagi. Semua kenangan itu menghantam saya tanpa ampun.
Melihat saya yang seperti itu, akhirnya suami saya mengambil alih tugas untuk menjenguk ke dalam rumah sakit. Dia sendirian dengan berbekal nomor ruangan tempat tetangga kami dirawat. Sementara saya di mobil masih larut dalam kenangan tentang tragedi itu. Saya berterima kasih dalam hati, atas pngertian suami saya yang luar biasa.
Agak lama, suami saya kembali ke mobil. Tetapi ia masih membawa bungkusn plastik berisi oleh-oleh yang seharusnya diserahkan pada tetangga kami.
"Nggak ketemu Si Mbah, Bi?" Tanya saya.
"Ruangannya sih ketemu, tapi Abi nggak tahu itu Mbah atau bukan. Banyak orang-orang yang ngumpul, tapi nggak ada satupun yang Abi kenal."
Jadi? Rasanya lucu jika kami harus pulang tanpa hasil, dengan oleh-oleh yang masih utuh. Tidak sebanding dengan waktu yang dihabiskan karena lalu lintas yang macet. Maka saya memutuskan untuk masuk saja ke rumah sakit itu. Suami saya menemani. Anak-anak kami tinggal di mobil.
Untunglah rumah sakit itu bukan rumah sakit yang sama dengan tempat meninggalnya Adiba. Saya juga sudah cukup tenang saat memasuki tempat itu.
Semula saya takut menghadapi hal itu. Saya khawatir dengan apa yang akan terjadi ketika semua kenangan akan tragedi itu datang. Tapi ya sudah, memang semua itu harus dihadapi. Masih terasa sedih dan sangat menyakitkan, walaupun kejadiannya sudah lama berlalu. Maka saya menyimpulkan, sampai kapanpun rasa itu tidak akan hilang. Sedih, sakit, kehilangan. Semua itu sudah menjadi bagian dari hidup saya dan saya tidak bisa menolaknya.
Sama ketika saya mencoba menuliskan tragedi tersebut dalam sebuah novel. Saat mulai menuliskan konflik, maka proses penulisan itu mulai terasa berat. Berat karena saya harus membuka kembali kenangan yang sebagian sudah tertutup. Setiap mengingatnya, menuangkannya dalam tulisan, rasa sakit itu kembali datang. Saya sempat ragu, bagaimana caranya menyelesaikan tulisan ini jika setiap ingin menuliskannya saya terserang panik dan keinginan untuk terus menghindar.
Tetapi Mbak Mentor saya terus mengingatkan tentang goal yang ingin saya capai. Ya, saya masih ingin menulis cerita ini. Saya ingin menyelesaikan novel ini. Saya ingin orang membaca kisah ini.
Maka saya pun kembali menulis. Lalu menangis. Menulis lagi. Menangis lagi. Sampai sekarang. Tetapi saya tidak boleh berhenti. Naskah saya memang belum rampung. Saya ingin segera menyelesaikannya. Bulan Desember ini adalah bulan kelahiran Adiba. Semoga bulan ini saya bisa menyelesaikan naskah novel saya. Aamiin. Doakan saya ya, teman-teman 😊🙇
Rasa sakit itu kadang tak bisa dihindari. Tak masalah jika kita harus menangis. Nikmati saja. Resapi setiap hadirnya, maka kita akan melihat bahwa kita telah cukup jauh berjalan. Namun jika kita menghindar, kita tak akan bisa sampai ke mana-mana.
*picture taken from pixabay.com
Komentar
Posting Komentar