BAYI-BAYI SURGA
Untuk Gibran dan Adam
Saya sering membuka akun-akun
instagram yang berisi foto-foto dan video para bayi lucu yang mempertontonkan
segala tingkah polah mereka. Entah mengapa, rasanya sangat menghibur melihat
kelucuan dan kepolosan para bayi itu. Saya bukan sedang menyiksa diri karena
menonton para bayi itu membuat saya teringat pada Adeeba. Kenyataannya, tanpa
melihat bayi-bayi instagram itu saya sudah selalu teringat putri saya. Bukan
pula saya tidak mau move-on. Tapi
percayalah, ibu-ibu yang mengandung, melahirkan, lalu kehilangan anaknya dengan
cara apapun, pasti akan merasakan kehidupan yang tidak lagi sama. Kehilangan
anak. Darah daging. Walaupun kelak akan menjadi pembuka pintu surga,
InsyaAllah, namun sesungguhnya menjalani semua itu jauh lebih sulit jika kita
sendiri yang mengalaminya.
Baiklah,
kembali pada para bayi instagram. Saya juga sering stalking akun milik bayi-bayi dengan kondisi khusus. Bayi-bayi yang
mengalami kelainan atau penyakit tertentu, yang membuat mereka harus mendapat
perawatan intensif. Saya bukan follower sih, tapi cukup sering mengintip akun
mereka. Yah, hampir setiap hari. Dua di antaranya adalah Muhammad Gibran Mahrez dan Adam Fabumi. Gibran
mengalami rest encephalitis, padahal
sebelumnya ia sehat-sehat saja. Ia mengalami koma selama berbulan-bulan. Sedangkan
Adam, penyandang patau syndrome atau trisomy 13. Kondisinya sama seperti
bayi-bayi istimewa dengan syndrome seperti ini, sangat fluktuatif.
Melihat
foto-foto mereka, saya diam-diam berharap agar mereka bertahan, lalu
memenangkan pertarungan mereka, dan menjalani hidup dengan ceria. Sebuah
harapan yang lumrah dari seorang ibu yang pernah kehilangan anaknya. Sejujurnya
saya tidak terlalu memikirkan orangtua bayi-bayi itu (maafkan saya…). Namun
melihat para bocah itu saja rasanya hati saya ikut menangis. Saya ingat
perjuangan putri kecil saya. Dia terbaring di sana, dengan jarum-jarum menusuk
tubuh mungilnya. Dia, yang satu bentol merah akibat gigitan kecil dari nyamuk
bandel saja membuat saya jengkel setengah mati, di kemudian hari ia harus seorang diri menahan sakitnya
ditusuk jarum-jarum infus. Saya ingat tangannya mengepal, menahan sakit. Hati
saya hancur berkeping-keping melihatnya.
Menunggui
anak di rumah sakit, berapapun usia anak itu, adalah cobaan yang sangat berat
bagi seorang ibu. Kalaulah bisa, tentu sang akan ibu lebih memilih bertukar
tempat dengan anaknya. Mungkin
dokter, kerabat, teman-teman, atau bahkan google (seperti yang saya lakukan
untuk mencari tahu lebih banyak mengenai penyakit Adeeba) menyampaikan betapa
sulitnya kondisi tersebut, dan risikonya adalah kematian, namun hati seorang
ibu tidak pernah berhenti berharap.
Itu
pula yang saya rasakan. Bahkan sampai saat dokter memberikan pilihan untuk
menyerah atau meneruskan pemberian obat perangsang jantung, saya ngotot agar
tindakan tersebut dilanjutkan. Walaupun risikonya adalah kerusakan otak. Cerebral palsy. Namun Allah berkehendak
lain, jantung Adeeba tak merespon. Ia berhenti berdetak untuk selamanya.
Saat
ia sudah dinyatakan meninggal, saya masih mengguncang-guncangkan lengannya,
memeluk dan menciuminya, berharap detak jantungnya kembali. Benar-benar,
seorang ibu adalah makhluk terakhir yang akan kehilangan harapan ketika sebuah kejadian buruk terjadi.
Kembali pada dua bayi yang istimewa tadi, Gibran dan Adam. Saya yakin orang tua
mereka sudah melakukan yang terbaik. Baik Gibran maupun Adam mendapat perhatian yang
banyak dari masyarakat. Banyak yang berharap kedua bayi tersebut pulih, dan
kembali menjalani hidup dengan bahagia. Beberapa kali orangtua mereka
mem-posting kemajuan-kemajuan kecil pada bayi Gibran dan Adam.
Beberapa
minggu lalu saya jarang membuka instagram karena smart phone saya rusak. Ketika kemudian membuka-buka instagram
kembali, saya dikagetkan dengan kabar berpulangnya Gibran kepada Allah SWT.
Lalu tadi pagi, setelah saya iseng stalking lagi, saya mendapat kabar pula
bahwa Adam baru saja berpulang. Bayi-bayi kuat itu pergi untuk selamanya,
meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan di hati orang tuanya. Mungkin di
masa depan, orang tua mereka atau mungkin saya juga (ah, mungkinkah..?) akan
memiliki bayi lagi. Namun kekosongan akibat kepergian anak sebelumnya, saya
kira akan tetap ada.
Lalu
apa tujuan saya menuliskan semua ini? Pertama, saya ingin menyampaikan turut
berduka cita atas berpulangnya bayi Gibran dan Adam. Semoga keluarga yang
ditinggalkan bisa tabah dan kuat menjalani semuanya. Yang ke dua, tentu saja
karena saya jadi ingat pada bidadari kecil saya Adeeba. Saya menangis saat
menuliskan ini.
Kasus
Adeeba dengan kelainan jantung Tetralogy of Fallot-nya, Gibran dengan rest encephalitis-nya, Adam dengan patau syndrome dan segala komplikasinya,
bisa menimpa siapa saja. Namun tentunya Allah tidak memilih secara random. Ia
memilih pada siapa yang dikehendaki-Nya, dengan alasan yang Allah sendiri yang
mengetahuinya.
Selamat
jalan, Gibran dan Adam. Surga Allah adalah yang paling baik. Dunia adalah
tempatnya rasa sakit dan kesedihan. Namun di surga sana, yang ada hanyalah
kebahagiaan. Abadi.
Komentar
Posting Komentar