Diagnosis Awal : Antara Pneumonia, Kelainan Jantung, dan Down Syndrome

Antara Pneumonia, Kelainan Jantung, dan Down Syndrome

Ketika membawa Adeeba ke RS, saya tidak pernah berpikir bahwa Adeeba menderita kelainan yang sangat serius. Saya memeriksakannya ke dokter anak karena sudah hampir dua minggu dia sering rewel tanpa bisa saya pastikan penyebabnya. Mulanya saya pikir dia kolik. Tetapi setiap kali dia menangis lama, nafasnya menjadi sesak. Pada awalnya dia menangis dan sesak napas tidak terlalu lama, setelah ia tenang dan tertidur napasnya kembali normal. Akan tetapi kondisi sesak napas itu ternyata semakin hari semakin parah.
Ketika sedang menunggu antrean di poli anak, seorang suster mengamati Adeeba yg menangis dalam gendongan saya, lalu bergegas menghampiri kami.
“Bu, adeknya sesak banget napasnya ya, bawa ke UGD aja bu...kalo ngantri di sini lama,” ujar suster itu.
Deg! Tiba-tiba saya merasa bahwa ini mungkin akan buruk. Kami bergegas ke UGD, dan disambut dokter jaga yg masih muda dan cantik. Saya disuruh segera meletakkan Adeeba di ranjang UGD. Sungguh saya tidak pernah membayangkan bahwa saat itu adalah terakhir kalinya saya menggendong Adeeba dalam keadaan masih bernyawa.
Dokter memberikan beberapa tindakan, memasangkan alat yang kemudian saya ketahui bernama ventilator, untuk membantu Adeeba bernapas.
Dokter kemudian berkata bahwa Adeeba membiru karena kekurangan oksigen, resikonya meninggal dunia. Adeeba harus segara dipindahkan ke ICU. Suami saya diminta segera mengurus beberapa administrasi. Saya mulai menangis.
Siang itu juga Adeeba dipindahkan ke ICU. Ia menjalani serangkaian tes darah, ronsen, dan pemeriksaan lain.
Malam harinya, saya bertemu dengan dokter anak yang menangani Adeeba. Sebelumnya, perawat sempat memberitahu saya bahwa Adeeba akan ditangani oleh dokter anak, dokter bedah, dokter jantung, dan dokter anestesi.
Dokter anak bertanya, “Ibu, di rumah ada yang merokok nggak?”
“Enggak Dok,” jawab saya mantap.
“Ada yang lagi renovasi rumah mungkin? Atau ada yang habis kena batuk?” tanya dokter lagi.
“ Yaa...kemarin sih kakak-kakaknya sempat batuk pilek Dok,” ujar saya.
“Jadi gini Bu…,” dokter menunjukkan hasil ronsen, “ini di paru-parunya adek, ada infeksi, Ibu lihat ini...ini lendir bu, penyebabnya infeksi bakteri. Bakteri dari mana, bisa dari debu-debu kalau misalnya ada renovasi rumah, atau rokok, atau tadi misalnya orang di rumah habis batuk dekat si adek...namanya pneumonia,” Dokter menunjukkan gambar bayangan di foto paru-paru Adeeba.
“Jadi diagnosisnya pneumonia ya Bu… Karena ini di bronchus, jadi namanya bronchopneumonia. Karena penyebabnya infeksi bakteri, jadi kita kasih antibiotik ya… Mudah-mudahan antibiotiknya cocok, dan kondisi adek membaik. Nanti selama dua sampai tiga hari kita lihat terus perkembangannya,” dokter tersebut menuliskan beberapa nama obat di lembaran kertas.
Di samping dokter anak tadi, ada bapak-bapak yang belakangan saya ketahui adalah dokter bedah, yang sejak awal pembicaraan kami tadi ikut menyimak sambil mengamati hasil ronsen Adeeba.
Dokter anak tadi berpaling padanya sambil berkata, "Dokter, ada yang mau ditambahkan?"
Dokter bedah menunjuk hasil ronsen Adeeba sambil berkata, “Ini... Ini harusnya nggak gini. Paru-parunya harusnya nggak begini. Kalau dilihat ini bersih kan? Untuk infeksi seperti itu harusnya (foto bayangan di paru-parunya) lebih banyak. Jantungnya juga beda ini…”
Dokter anak lalu menjelaskan pada saya, “Ibu, di keluarga ada yang punya penyakit jantung?”
“Setahu saya nggak ada, Dok…” jawab saya. Saya mulai panik. Apa lagi ini?
“Gini Bu, ini paru-parunya adek, sebetulnya nggak terlalu buruk ya, cuma nilai saturasi oksigennya ini kecil sekali bu…padahal kan dia sudah nggak sesak nih, karena dibantu ventilator...seharusnya nilai saturasi, atau kadar oksigen dalam darahnya si adek ini nilainya membaik...tapi ini kok enggak... Terus saya lihat ini jantungnya kok beda bentuknya dengan jantung normal… makanya kalau Ibu setuju, nanti akan dilakukan screening jantung, USG jantung untuk adek…”
Akhirnya kami sepakat malam itu juga Adeeba akan menjalani USG jantung.
“Jadi selama beberapa hari ke depan Adeeba harus di sini (ICU) terus ya Dok…” ucap saya.
“Ya iya dong Bu...kan dia harus pakai ventilator, nggak bisa bernapas dengan spontan.”
“Berapa lama ya Dok..?” saya mulai memikirkan kakak-kakak Adeeba di rumah.
“Ya itu tadi saya bilang bu, tergantung kondisi adek setelah kita kasih antibiotik tadi… Kalau saya bilang, kondisi adek sekarang ini jelek sekali… Dia bisa bertahan 2x24 jam aja, saya nggak yakin…”
Ya Rabb..! Saya berusaha mencerna ucapan dokter itu baik-baik. Apakah saya tidak salah dengar?
Menjelang akhir pembicaraan dengan dokter anak itu, saya merasa mulai kehilangan konsentrasi karena saya tidak bisa mengingat bagaimana pembicaraan kami bisa sampai pada pertanyaan sang dokter anak, “Ibu melihat ada yang berbeda nggak dengan si adek ini? Atau mungkin dokter anaknya waktu dia lahir dulu, ngasih tahu ibu nggak..?”
“Ngasih tahu apa Dok?” tanya saya bingung.
“Saya lihat adek ini kayaknya Down Syndrome, kalau dilihat dari ciri-ciri wajahnya ya…” ujar dokter itu.
Jleb!
Dokter itu melanjutkan, “Waktu lihat wajahnya pertama kali saya langsung mikir gitu sih bu, saya tanya apa orang tuanya memang begitu mukanya (ras mongoloid), tapi ternyata enggak ya…” dia melihat sepintas ke mata saya yang memang tidak sipit.
“Itu dilihat dari ciri-ciri wajahnya aja sih...soalnya anak DS itu kan khas ya bu wajahnya...memang masih butuh tes kromosom, untuk memastikannya. Tapi itu nanti...nanti aja...sekarang kita fokus sama infeksinya dulu.”
Saya hanya terdiam. Tetapi wajah saya pasti menunjukkan ketidakpercayaan pada ucapan sang dokter. Dia menduga Adeeba adalah bayi Down Syndrome, hanya melihat dari ciri-ciri wajahnya saja, khususnya dari matanya yang agak sipit dan jarak kedua matanya yang sedikit lebih lebar daripada anak lain yang sering dilihatnya.
Maka sejak detik itu, hati saya menolak untuk percaya pada kata-katanya. Tentang kondisi Adeeba yang tidak mungkin bertahan lebih dari 2x24 jam, dan tentang Down Syndrome itu. 

Foto ini diambil pada hari pertama Adeeba berada di ruang ICU.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dia Bayi Down Syndrome?

BAYI-BAYI SURGA

Pengalaman Membuat Proyek Kemandirian Bersama Anak