Sebulan Kepergianmu, Bidadari Kecil
Sebulan sudah kamu tinggalkan kami. Barang-barangmu masih tersimpan di tempatnya. Belum mampu umi singkirkan atau berikan pada orang yang mungkin membutuhkan. Bersama kenanganmu, umi menjalani hidup ini sekarang.
Baju-baju mungilmu, masih terlipat rapi di laci-laci. Masih bisa umi rasakan wangimu di sana. Bouncer, stroller, rattle, yang kini tak bertuan, teronggok tak pernah digunakan lagi. Gaun-gaun cantik, feeding set, piyama dan baju-baju masih terbungkus plastik lengkap dengan labelnya, sebagian umi beli sendiri dan sebagian lagi adalah kado yang tidak akan pernah kau pakai, karena memang ukurannya dimaksudkan untuk kau gunakan saat usiamu lebih besar lagi. Botol-botol susu dan breast pump, saksi bisu betapa umi tidak pernah berhenti mengharapkan keajaiban untuk kesembuhanmu. Hingga hari-hari terakhir umi masih berusaha untuk memberimu ASI, walaupun harus diberikan melalui selang.
Adiba...umi ingin sekali kamu tahu bahwa umi tidak pernah berhenti merindukanmu… Setiap saat umi teringat pada wajahmu, senyumanmu, tangisan manja dan rengekanmu.
Tapi Nak...betapapun besarnya rasa rindu umi padamu, dan penyesalan-penyesalan yang sering menggelayuti, Allah tak kan mengirimmu kembali ke pelukan umi… Dia telah memberimu tempat yang tenang, sebaik-baik tempat bagi hambanya kelak. Dia memberimu takdir yang indah, menjadi penghuni surganya kelak tanpa perlu dihisab.
Adiba...banyak yang mengingatkan umi agar senantiasa kuat, sabar, dan ikhlas. Mereka bilang Allah memberikan ujian seperti ini karena umi kuat menanggungnya. Padahal dalam hati umi tak ingin menjadi kuat, jika itu bisa membuatmu kembali ke pelukan umi. Disaat-saat kritismu dulu umi memohon pada Allah agar jangan mengambilmu karena umi tak kan sanggup, tak kan mampu menanggung takdir bila kehilanganmu. Tapi ternyata Allah mengambilmu juga Nak.
Lantas umi bertanya pada diri sendiri, apakah umi sudah sabar, apakah umi sudah ikhlas? Lalu umi bertanya-tanya lagi, sebenarnya sabar itu bagaimana? Ikhlas itu seperti apa? Semua teori yang pernah umi baca, umi dapatkan di pengajian-pengajian, rasanya tak sanggup umi jangkau.
Bila umi masih merasa sedih dan sakit karena rasa kehilangan, apakah itu artinya umi belum sabar? Jika umi masih teringat padamu setiap saat, merasa duka yang mendalam karena tidak bisa lagi memeluk dan menciummu, apakah itu artinya umi belum ikhlas?
Berulang-ulang umi baca ayat Al-qur’an:
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am : 162)
Adiba, sayangku (biasanya umi panggil kamu si kecil bulet sayang…) mungkin itulah ikhlas yang mampu umi pahami. Segala sesuatu yang karena, dan hanya untuk Allah. Hidup kita, mati kita, semua hanya untuk Allah. Hidup umi, hidup Diba, hanya milik Allah. Kepada-Nya segala sesuatu akan dikembalikan.
Jadi mungkin tak perlu umi bertanya-tanya mengapa umi dan Diba harus menanggung takdir ini. Karena kita adalah milik Allah, jadi terserah Allah akan membawa hidup kita ke mana, dan hanya kepada Allah saja kita serahkan segala urusan kita, hidup dan mati kita. Dan ini sungguh teramat berat untuk dijalani. Mudah untuk dibaca, mudah untuk dikatakan, namun percayalah, sulit sekali untuk mampu memahaminya, dan terlebih lagi menjalaninya.
Komentar
Posting Komentar